Namaku adalah Faried, seorang sopir taksi berusia 26 tahun yang melewatkan hari
demi hari kehidupannya dengan beragam nuansa: terkadang sangat
melodramatis, romantis, sentimentil, bahkan lucu.
Selama bekerja
sebagai sopir taksi di ibukota selama beberapa tahun Faried telah banyak
menemui kejadian yang menegaskan fenomena itu. Suatu ketika, ia
mengembalikan dompet seorang ibu yang ketinggalan di
taksinya.Sesungguhnya, ia tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari
situ, sebab baginya kejujuran dan kepolosan sudah menjadi bagian
integral dari jiwa, tubuh dan segenap aktifitas kesehariannya. Kalau pun
kemudian, si ibu dengan ekspresi wajah lega dan ucapan terima kasih tak
terhingga, lalu memberikan uang sebagai penghargaan atas ‘jasa’ nya,
dan kemudian dengan halus si sopir itu menolaknya, itu semata-mata
karena apa yang telah ia lakukan sudah menjadi tugasnya. Komitmen Faried
untuk menjunjung tinggi ‘harkat ke-supir taksi-an’ saya, tak lebih.
Pada kesempatan lain, ia menolong seorang korban kecelakaan lalu lintas
di depan kampus sebuah perguruan tinggi. Ia segera membawanya ke unit
gawat darurat rumah sakit terdekat, dengan tidak memperhitungkan lagi
berapa tarif taksi yang dapat diperolehnya bila ia tetap mengabaikan
kejadian itu. Semua terasa seperti tindakan ‘bawah sadar’ yang telah
terbentuk sedemikian rupa selama bertahun-tahun, sejak ayahnya yang
telah almarhum menanamkan nilai-nilai kearifan tradisional dalam diri
Faried.
Hari itu Faried kembali menjalani rutinitasnya seperti
biasa. Untuk yang satu ini memang bukan rutinitas yang lazim, karena
setiap petang tiba, ia menjemput Ayu (25 tahun), tokoh sentral
berikutnya, yang adalah seorang wanita panggilan ‘kelas atas’ yang
tinggal di sebuah rumah mewah di sebuah kompleks pemukiman real estate,
untuk kemudian membawanya ke suatu tempat, di mana saja, yang telah
disepakati sebelumnya oleh pelanggan setianya itu. Ayu sudah menyewa
taksi Faried selama enam bulan. Jadi pada jam-jam tertentu–biasanya
petang hari–Faried menjemputnya di rumah tersebut, membawanya ke tempat
yang senantiasa berbeda-beda tergantung mana yang ditunjuk wanita itu,
lantas mengantarnya kembali pulang setelah ‘bisnis’-nya usai pada
jam-jam tertentu pula. Ayu membayar cukup mahal untuk tugas tersebut dan
Faried menerima itu sebagai bagian tak terpisahkan dari harkat
‘ke-supir taksi-an’ nya. Ia tidak menganggap itu sebagai kerja yang hina
lantaran menerima bayaran dari hasil desah dan keringat maksiat Ayu.
Ini bagian dari tugas, demikian ia mencari alasan pembenarannya. Faried
selalu menganggap persetan dengan semua anggapan sinis tentang dirinya.
Baginya, ia tetap memiliki hak untuk menentukan sikap dan melakukan apa
yang terbaik bagi dirinya sendiri. Prinsip sederhana memang tapi logis.
Sudah empat bulan lamanya Faried melakukan ‘tugas rutin’ itu. Ia sudah
berusaha menghilangkan beban psikologis apa pun termasuk perasaan cinta.
Terus terang sebagai seorang pria, Faried memang tidak dapat
mengingkari kata hati bahwa Ayu memang cantik dan diam-diam ia telah
jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan rambut sebahu, wajah oval
proporsional, hidung bangir, kulit putih dan postur tubuh ramping
semampai, Ayu tampil mempesona mata setiap pria yang melihatnya,
termasuk dirinya. Sebagai lelaki bujangan dan normal, Faried tidak dapat
menepis getar-getar aneh saat wangi parfum Ayu yang khas menyerbu
hidung ketika ia masuk ke taksinya. Tapi ia berusaha menekan perasaan
itu sekuat-kuatnya.
Terlebih, ketika muncul rasa cemburu, saat
Ayu terlihat digandeng oom-oom kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya.
Faried seyogyanya harus menempatkan diri pada posisi yang benar: ia
adalah pelanggan dan saya hanya supir taksi. Maka ia mematuhi
‘rambu-rambu’ itu secara konsisten. Terlebih secara fisik dan finansial
ia kalah jauh dibanding Ayu, mana mungkin wanita gedongan dan sudah
terbiasa menikmati kemewahan seperti Ayu mau dengan sopir taksi miskin
dengan tampang ndeso seperti dirinya, bukankah itu bagaikan pungguk
merindukan bulan? Faried cukup tahu diri mengenai hal ini. Percakapan
mereka pun, baik ketika pergi maupun pulang, biasa-biasa saja. Tak ada
yang istimewa, bahkan nyaris bersifat rutin. Faried berusaha menjaga
jarak dengan Ayu agar tidak terlibat lebih jauh ke masalah yang sifatnya
terlalu pribadi. Namun belakangan ini sudah ada sedikit ‘peningkatan
kualitas pembicaraan’. Tidak hanya sekedar, ‘Mau ke mana?’ atau ‘Jam
berapa mau dijemput?’, dan sebagainya. Ayu mulai menanyakan latar
belakang pribadi sang sopir langganannya itu hingga menanyakan ada
berapa jumlah penumpang di taksinya untuk hari ini. Tentu Faried pun ada
rasa gembira pada perkembangan menarik ini. Mulanya sang sopir agak
rikuh tapi perlahan ia mulai dapat menyesuaikan diri dan menjadi
pembicara atau pun pendengar yang baik.
Ayu
Seiring
berjalannya waktu, hubungan emosional mereka pun berlangsung hangat. Ayu
mulai tak canggung-canggung mengungkap riwayat hidupnya pada si sopir.
Ia ternyata produk keluarga broken home. Ayah dan ibunya bercerai
,ibunya kabur bersama pria lain sehingga ia ikut ayahnya yang pemabuk
dan tukang main pukul. Ia tidak tahan dan prihatin dengan kondisi
seperti itu sehingga memutuskan untuk minggat dari rumahnya dan mengadu
nasib ke ibukota. Kuliahnya pun tidak selesai. Awalnya ia tinggal di
rumah seorang famili jauhnya dan mulai mencari pekerjaan agar dapat
mandiri.
“Saya harus terus hidup dan berjuang”, kata Ayu menetapkan hati.
Bermodalkan
kecantikan dan keindahan tubuhnya, ia menjadi SPG lalu tak lama mulai
memasuki dunia model. Foto-foto dirinya pernah menghiasi majalah
fashion, lifestyle hingga majalah pria dewasa. Selain itu ia juga
mendapat peran kecil dalam beberapa sinetron lokal. Namun, tanpa
disadarinya, perlahan namun pasti ia terjerumus ke lembah nista.
Kehidupan malam dan hingar bingar pesta, sepertinya memberikan
keleluasaan baru dan ia bagai memperoleh jati diri di sana. Sejak itu
Ayu pun dikenal sebagai model plus-plus, ia menjadi primadona di
kalangan atas. Hampir semua klien-nya siap melakukan apa pun untuk
berkencan dengannya. Belakangan, ia kemudian menjadi ‘simpanan’ seorang
direktur sebuah bank swasta ternama di negeri ini, dengan tip dan
bayaran yang sangat besar plus rumah mewah komplit segala isinya. Sang
Direktur hanya datang pada waktu-waktu tertentu saja untuk menemui Ayu.
Meskipun begitu, profesinya tak juga ditinggalkan, selain menjadi model
ia menjadi wanita panggilan kelas atas.
“Saya menyukai pekerjaan ini,” katanya suatu ketika, suaranya terdengar serak dan terkesan dipaksakan.
Faried
melirik melalui kaca spion, wanita cantik itu duduk santai di belakang,
menyelonjorkan kaki dan menyalakan rokok. Faried tersenyum dan kembali
mengalihkan pandangan ke depan. Ayu tak menjelaskan lebih jauh
pernyataan yang telah dikeluarkan. Hanya kepalanya terangguk-angguk
pelan menikmati lagu melankolis ‘When A Man Loves A Woman’-nya Michael
Bolton yang mengalun dari radio di tape mobil Faried.
“Omong-omong…Abang sudah punya pacar atau udah berkeluarga?” tanyanya tiba-tiba.
Kontan Faried gelagapan dan agak kehilangan konsentrasi mengemudi.
“Saya sih udah cerai Mbak” ia menjawab tersipu, “ya waktu masih di kampung dulu sampai sekarang yah ginilah, masih sendiri”
Sebuah
jawaban yang jujur terlontar dari mulut si sopir itu. Ayu terkekeh. Ia
menghirup rokoknya dalam-dalam. Rimbun asapnya mengepul-ngepul, memenuhi
kabin taksi. Faried menelan ludah.
“Kalau Mbak Ayu sendiri bagaimana?” ia balik bertanya.
“Abang
tahu sendiri, kan? Banyak. Banyak sekali,” sahut Ayu, suaranya
terdengar hambar, kedengarannya ia seperti melontarkan sebuah lelucon
atau apologi? entahlah
“Banyak memang. Tapi hampa,” Faried menanggapi dengan getir.
Untuk
beberapa saat Ayu terdiam. Ia mematikan rokoknya, lalu merenung…lama.
Hanya deru mesin mobil dan getar alat air conditioner taksi terdengar.
Lalu lintas di larut malam itu memang telah sepi. Sebagian lampu jalan
telah dipadamkan. Faried tiba-tiba menyadari kecerobohan dan
kelancanganya, maklum sebagai orang kampung ia terbiasa bicara
ceplas-ceplos apa adanya.
“Eh…maaf ya Mba,apa saya….”
“Nggak
apa-apa Bang. Itu emang benar, mereka hampa, cuma punya tubuh dan
nafsu, bukan jiwa dan cinta,” Ayu bertutur dengan lirih.
Faried menghela nafas panjang, ia merasa dadanya sesak, simpati pada nasib wanita secantik Ayu harus bernasib demikian.
“Hidup menawarkan banyak pilihan, Mbak.”
“Tapi saya tak punya pilihan!” sangkal Ayu dengan nada suaranya meninggi.
“Kearifan
menyikapi dengan landasan moral, itu kunci untuk memilih. Kita memang
tak akan pernah tahu apakah pilihan hidup kita sudah tepat. Tapi
setidaknya, kita mesti punya pegangan yang kokoh untuk menentukan ke
mana kita mesti melangkah,” Faried berkata lembut berusaha menghiburnya.
Terdengar
nafas berat Ayu di belakang. Suasana terkesan kering dan kaku.Keduanya
tak bercakap-cakap lagi hingga taksi Faried tiba di gerbang depan rumah
yang dituju.
Ayu hanya mengucapkan ‘Selamat malam. Sampai jumpa besok sore’.
Faried
pun pulang ke rumah kontrakannya dengan rasa bersalah yang bertumpuk,
sepertinya ia telah menyinggung wanita itu dengan omongannya. Ketika
selesai tugas malam itu, ia menemukan sebuah lipstick di lantai belakang
taksinya.
Keesokan harinya
Hari itu adalah hari terakhir
kontrak sewa Faried dengan Ayu. Ia menjalani rutinitas ekstranya seperti
biasa, ia menjemput Ayu pada waktu dan tempat yang sama.
“Maaf, apa ini punya Mbak? Kemarin saya nemuin di belakang” kata Faried sambil menunjukkan lipstick yang dipungutnya kemarin
“Ohh…iya
benar, makasih ya Bang, sepertinya jatuh waktu saya ngambil rokok
kemarin” Ayu tersenyum berterima kasih seraya mengambil lipstick itu.
Kekakuan
komunikasi akibat ‘insiden’ semalam berangsur-angsur lenyap. Faried pun
berusaha untuk lebih hati-hati berkata-kata agar menjaga perasaan Ayu.
“Apa Mbak tidak bosan dengan rutinitas seperti ini?” ia membuka percakapan,
“Apa Abang punya ide yang baik?” wanita cantik itu balas bertanya.
“Yah…
misalnya rutinitas yang baru. Kawin dengan lelaki yang mampu memberi
nafkah cukup lahir batin–tidak sekedar limpahan materi yang semu belaka,
hidup bahagia, punya anak dan menikmati kehidupan,” Faried mengucapkan
kalimat tersebut sesantai mungkin tanpa beban, ia ingin mendengar
pendapat Ayu mengenai hal ini.
Sejenak Ayu terdiam. Faried
kembali melirik ke belakang lewat kaca spion mobil. Wanita itu terlihat
sangat cantik dengan make up tipisnya, parasnya yang memukau seperti
bercahaya, dibanding para pelacur warung remang-remang atau pinggir
jalan tentu ibarat bumi dan langit. Ia melepas pandang ke luar melalui
kaca jendela taksi yang buram, sepertinya memikirkan sesuatu.
“Itu angan-angan yang terlalu ideal, Bang,” jawabnya pada akhirnya.
“Jangan
melihat ini sebagai sesuatu yang naif, Mbak. Saya rasa pendapat saya
cukup realistis. Gak mengada-ada. Setiap orang, baik lelaki maupun
wanita, pasti pernah berpikir mengenai hal itu: Kebahagiaan hidup
berkeluarga. Semuanya akan kembali pada prinsip dan keinginan orang yang
bersangkutan, sepanjang ia sadar dan yakin hal itu bakal memberikan
ketenteraman bagi jiwanya, hatinya dan segenap aktifitas kesehariannya,”
Faried mencoba berargumen.
“Kita punya takaran penilaian yang
berbeda Bang. Tak akan bisa bertemu. Jangan terlalu banyak bermimpi.
Kita hidup berada dalam kemungkinan-kemungkinan. Apa yang bakal terjadi
kemudian, kita gak bisa menebak. Dan itu sering tidak persis sama
seperti yang kita bayangkan,” ujar Ayu lirih dengan bibir bergetar.
Faried menarik nafas, putus asa.
“Apakah Mbak menganggap bahwa lakon hidup yang Mbak lakukan selama ini sama persis seperti yang Mbak bayangkan sebelumnya?”
“Memang
gak sama Bang. Bahkan sangat jauh berbeda. Saya gak pernah mengimpikan
menjalani kehidupan seperti ini. Tapi, bukankah ini bagian dari
kemungkinan-kemungkinan hidup? Gak berarti saya mengatakan bahwa saya
menolak kehidupan berkeluarga. Saya bukan orang yang munafik lah, terus
terang dalam hati saya tetap mendambakan seorang suami yang dapat
menyayangi dan memanjakan saya serta anak sebagai tambatan hati. Namun,
kalau saya telah menemukan ketenangan pada profesi yang saya lakoni saat
ini, bagi saya bukanlah suatu pilihan yang keliru. Setiap orang
memiliki cara masing-masing untuk memaknai hidupnya.”
“Apa Mbak merasa bahagia dengan memaknai hidup dengan jalan ini?”
“Saya
gak bisa menjawabnya Bang. Abang gak akan pernah tahu ukuran dan nilai
kebahagiaan bagi saya seperti apa. Begitu pula sebaliknya. Kita punya
‘nilai rasa’ yang berbeda dalam menakar kebahagiaan,” Ayu bertutur pelan
dengan tidak mengalihkan pandangan ke arah luar taksi.
Faried
terdiam, ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sadar, wanita itu cukup
konsisten memegang prinsipnya. Mendadak, kesedihan merambah dalam hati
sopir taksi itu. Hari ini adalah hari terakhirnya bersama Ayu. Besok,
Ayu akan berangkat berlibur ke Singapura dan Australia mendampingi sang
direktur selama sebulan. Ia tidak tahu apakah Ayu akan menyewa ‘jasa’
nya lagi kelak atau mungkinkah mereka bisa bertemu lagi kelak. Baginya
itu tidak penting. Kebersamaan dengan wanita penghibur kelas atas itu
selama ini, tanpa sadar membangkitkan rasa cinta dan keinginan
melindungi dalam hatinya. Wanita itu bukan hanya sekedar langganan,
namun telah menjadi teman baginya. Melalui kaca spion mobil, ia melirik
Ayu. Ia begitu cantik, sangat cantik, mengapa bunga yang begitu indah
harus terhanyut dalam kubangan kotor? Faried membatin sekaligus
nelangsa. Tak lama kemudian, mereka telah sampai ke tujuan. Faried
segera mematikan mesin mobil dan pikirannya galau sepanjang menanti
panggilan dari Ayu untuk mengantarnya pulang, tak terasa lima puntung
rokok telah habis sampai kotak rokoknya kosong. Hujan deras mengguyur
ibukota di tengah perjalanan pulang mengantarkan wanita itu. Setibanya
di rumah Ayu, Faried turun dan mengeluarkan payung sebelum membuka pintu
belakang dan memayungi wanita itu hingga ke gerbang.
“Bang, masuk dulu aja, minum dulu sambil tunggu hujan reda!” tawar Ayu setelah membuka gembok.
“Tapi Mbak…”
“Sudahlah
Bang, masuk saja, hujannya terlalu deras, mana ada yang numpang
saat-saat gini?” Ayu malah menarik lengan Faried memasuki pekarangan
rumahnya.
Faried tidak bisa menolak lagi ajakan wanita itu, malah
hati kecilnya merasa girang. Mereka berlari kecil ke pintu. Ayu membuka
pintu dan mempersilakan sopir taksi itu masuk. Faried langsung
merasakan kehangatan begitu memasuki rumah itu. Ayu memang pandai menata
interior ruangan sehingga kelihatan menarik dan nyaman. Dekorasi
ruangan tamunya bertema oriental, beberapa buah patung menghiasi
berbagai sudut. Faried terbengong-bengong memandangi sekitar ruangan
itu, entah perlu gaji berapa puluh tahun baru bisa membeli rumah seperti
ini.
“Duduk Bang!” Ayu mempersilakannya duduk di sofa “mau minum apa nih? Teh? Kopi? Juice?” tawarnya sambil ke mini bar dekat situ.
“Kopi panas aja Mbak, makasih ya!” jawab Faried sambil menjatuhkan diri di sofa.
Ada
beberapa majalah dan surat kabar di bawah meja ruang tamu. Faried pun
membuka-buka sebuah majalah sambil menunggu Ayu membuatkan minum. Di
sebuah sudut ruangan nampak sebuah koper besar dan sebuah yang kecil,
Ayu memang telah selesai mengepak barang-barang yang akan dibawa
sehingga besok tinggal diangkut ke mobil.
“Silakan Bang, diminum
dulu kopinya” tiba-tiba Ayu sudah berada di depannya dan meletakkan
segelas kopi yang masih mengepul atas meja di depanku.
Badannya
agak membungkuk, sehingga sopir taksi itu bisa melihat sekelebatan
tonjolan dua bukit dadanya yang kencang dan dibalut bra hitam lewat gaun
terusannya yang longgar. Sejenak dadanya berdesir dan ia merasa
celananya tiba-tiba menjadi sempit.
“Makasih ya Mbak!”
Ayu
kemudian duduk di sebelahnya cukup dekat untuk ukuran seorang sopir
taksi dan penumpangnya. Keduanya mulai mengobrol dan bercerita tentang
apa saja, juga saling bertukar lelucon dan mereka tertawa lepas.
“Ini hari terakhir kita bertemu Bang! Besok saya pergi…makasih ya bantuannya selama ini” kata Ayu berkata sambil menghela nafas.
Hingga
suatu saat, Faried memberanikan diri dengan dada berdebar keras
memegang jemari tangan wanita itu, ia ingin memberinya penghiburan
sebelum pergi jauh dalam waktu relatif lama. Ayu agak tertegun, tapi
tidak menolak.
“Mbak…jaga diri di sana ya” kata Faried singkat.
Ayu tersenyum, “Ya…makasih, Abang juga, semoga dapat jodoh yang baik” balasnya.
Tiba-tiba Ayu melepaskan tangan sopir taksi itu lalu berdiri kemudian menuju kamarnya.
“Tunggu
bentar ya Bang!” katanya sambil tersenyum penuh arti, ia lalu mengambil
remote TV di meja ruang tamu dan menyalakan TV di depan mereka, “nonton
aja dulu ya sambil nunggu!” lalu ia masuk ke kamarnya.
Di ruang
tamu, Faried mendengar sayup-sayup suara air yang mengucur deras dari
dalam kamar itu. Rupanya di dalam ada kamar mandi dalam. Tak lama
kemudian, Ayu keluar dari kamarnya, kini ia sudah memakai kimono sutra
berwarna biru. Sungguh cantik dan menggairahkan ia dalam balutan pakaian
tersebut, belahan pahanya memperlihatkan pahanya yang indah.
“Ayo sini Bang!” ajak Ayu sambil menggandeng tangan Faried.
“Tapi Mbak…mau apa?” Faried gugup dengan ajakan wanita tersebut.
Ia menurut saja walau merasa canggung karena baru pernah seorang wanita mengajaknya masuk ke kamarnya seperti ini.
“Eeennggg….kamarnya bagus ya Mbak!” pujinya sambil menutup kegugupan, “kita mau apa Mbak?”
Ayu
hanya menjawab terima kasih, dia terus menuntun Faried hingga memasuki
kamar mandinya. Di dalam kamar mandi, ia melihat air kran masih mengucur
deras hampir memenuhi separuh dari bathtub. Wangi harum dari bubble
bath segera memenuhi paru-paru pria itu.
“Bang…makasih ya atas
bantuannya selama ini” kata Ayu lalu tiba-tiba merangkul sambil
mendorong Faried ke belakang sehingga tubuh pria itu terhimpit ke
tembok, tangannya lalu meraba sekujur tubuh sopir itu, “abang orang
baik, tulus, jarang saya temui orang seperti abang jaman sekarang ini,
apalagi di dunia saya”
“Eeee…apaan nih Mbak?” Faried mencoba menghindar antara mau dan tidak.
“Anggap
ini hadiah perpisahan dari saya Bang…sekaligus terima kasih untuk
mengembalikan lipstik saya itu” habis berkata Ayu lalu mencium Faried
dengan bernafsu sekali sambil tangannya meremas-remas selangkangan pria
itu.
Iman Faried pun dengan cepat runtuh. Ia pun membalasa
mencium dan memagut bibir indah Ayu sambil tangannya meremas lembut
pantatnya. Ayu mulai melepaskan satu persatu kancing seragam sopir
Faried. Belaian tangan lembut wanita itu pada dadanya sungguh
membangkitkan gairah si sopir taksi, kelelakiannya terasa makin keras
sehingga celana panjangnya terasa semakin sesak. Tangannya agak gemetar
dan mulai berani meraba dan meremas lembut bukit dada Ayu. Wanita itu
melenguh dan semakin ganas dengan permainan “french kiss” nya. Sebentar
saja seragam sopir itu sudah lepas dan jatuh ke lantai. Ayu melanjutkan
dengan membuka celana panjang pria itu. Faried pun mulai melepaskan tali
pinggang yang membalut kimono Ayu. Payudaranya yang sudah membusung
dengan putingnya yang tegak telah membayang di balik kimononya, terlihat
jelas ia sudah tidak memakai bra lagi.
Ayu meraba dan meremas
lembut batang kemaluan Faried yang masih dibalut celana dalamnya. Dia
memainkan jemarinya dan mulai merogoh masuk celana dalam itu, menjemput
batang kelelakian si sopir taksi. Dengan sekali tarik, terbukalah kimono
Ayu, wanita itu lalu meloloskan tangannya sehingga kimono itu segera
jatuh ke lantai. Betapa indah tubuh di baliknya yang sudah tidak memakai
apa-apa lagi, kulitnya putih mulus dan begitu terawat. Kemaluannya
ditumbuhi bulu-bulu yang halus dan dicukur rapi, tidak terlalu lebat,
tapi juga tidak terlalu tipis. Celah kewanitaannya membayang di balik
bulu-bulu tersebut. Telanjang sudah wanita cantik itu di depan Faried
yang selama ini mengisi fantasinya. Bukit dadanya yang ranum dengan
putingnya yang berwarna kemerahan telah menegang seolah menantang untuk
mengulumnya. Perlahan, Faried mulai menyusuri bukit dadanya yang sebelah
kiri dengan lidahnya. Ia memainkan lidahnya hingga ke putingnya. Ayu
pun mendesis saat lidah pria itu menyentil dan mengitari putingnya,
sementara tangan kiri pria itu meremas lembut dan memainkan bukit dada
dan putingnya yang kanan. Ayu mendesah nikmat. Tangannya merenggut
celana dalam Faried dan menurunkannya dengan cepat hingga terlepas ke
lantai. Dengan ganas ia memainkan dan mengocok batang kelelakian yang
telah ereksi maksimal itu.
“Yuk…kita sambil berendam aja!” Ayu “menuntun” penis Faried menuju bathtub.
Faried
hanya bisa pasrah tidak bisa berkata-kata menikmati pelayanan Ayu. Ia
merebahkan diri ke dalam bathtub dan Ayu dengan perlahan mengocok dan
mengurut penisnya di antara busa-busa sabun dan air hangat. Wanita duduk
di antara dua kakinya sambil masih terus mengurut dan mengocok penisku.
Faried memejamkan mata menikmati setiap sensasi yang menjalari sekujur
tubuhnya. Rasa geli yang nikmat ia rasakan setiap gerakan lembut tangan
Ayu beraksi naik turun.
“Eeemmmhhh…enak Mbak…!” erang Faried.
Entah
berapa lama ia menikmati permainan tangan Ayu. Lalu ia menarik bahu
wanita itu dan membalikkan badannya ke arah badannya. Dipeluknya Ayu
dari belakang. Kini gilirannya untuk memberikan kenikmatan buat wanita
itu. Tangannya memainkan payudaranya dengan jalan meremas, meraba dan
memilin-milin lembut dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya
juga tidak tinggal diam, memainkan paha, lipat paha dan daerah gerbang
kewanitaan Ayu. Ayu mengerang, mendesis dan melenguh. Hidung dan lidah
Faried menciumi dan menjilati daerah di belakang daun telinga Ayu dan
sekitar tengkuknya. Jari-jari kasarnya memilin dan memencet-mencet
lembut klitoris dan labia mayora wanita itu.
“Oohhhhhh….Bang, enak Bang…terushhh…saya milikmu malam ini!” desah Ayu
Faried
sedang menciumi leher Ayu, tangannya meremas lembut payudara montok
itu. Ayu yang sudah sangat berpengalaman dalam hal ini, tak mau kalah.
Ia mengocok pelan penis Faried. Sopir bertampang ndeso itu pun semakin
buas karena terangsang, ia memutar wajah wanita itu ke belakang lantas
bibir mereka bertemu, saling pagut, saling gigit, lidah keduanya
berbelitan dan air ludah mereka bercampur
Akhirnya setelah
seperempat jam, mereka pun menyudahi pemanasan yang penuh gairah itu
karena kulit mereka mulai keriput disebabkan oleh terlalu lamanya kami
berendam dalam air bubble bath. Ayu menciumi wajah ndeso itu dengan
penuh kelembutan dan akhirnya keduanya melakukan “french kiss” lagi
dengan posisi saling mendekap. Setelah puas melakukan “french kiss”, Ayu
berdiri dan memutar kran shower untuk membilas tubuh mereka. Di bawah
derai siraman air shower, keduanya kembali berpelukan dan melakukan
“french kiss” lagi. Saling meraba, saling mengelus dan menyusuri tubuh
pasangan masing-masing.
Rupanya Ayu sudah birahi tinggi. Ia
menaikkan satu kakinya ke pinggir bathtub dan menuntun penis Faried ke
arah gerbang kewanitaannya.
“Saya udah kepengen banget Bang, ayo setubuhi saya…buat saya menggelepar keenakan!” pintanya.
Faried
membantunya sambil tangan kirinya memilin-milin puting payudara
kanannya. Ia menggeser-geserkan ujung kepala kemaluannya pada
klitorisnya. Perlahan, ia mendorong masuk penisnya ke dalam liang
kemaluan Ayu. Pelan.. lembut.. perlahan.. sambil terus mengulum bibir
merahnya. Ayu mendekap si sopir taksi sambil mendesis di sela-sela
ciuman mereka. Akhirnya amblaslah kira-kira tiga per empat dari panjang
kemaluan Faried, dan mulai maju-mundur menggenjot vagina wanita itu. Ayu
memejamkan matanya sambil terus mendesis dan melenguh. Ia memeluk pria
itu semakin kencang. Faried mengayunkan pantatnya semakin cepat dengan
tusukan-tusukan dalam yang ia kombinasikan dengan tusukan-tusukan
dangkal. Ayu membantu dengan putaran pinggulnya, membuat batang kemaluan
Faried seperti disedot dan diputar oleh liang kemaluannya. Guyuran air
shower menambah erotis suasana dan nikmatnya sensasi yang mereka alami.
Faried
merasakan lubang kemaluan Ayu semakin licin dan semakin mudah baginya
untuk melakukan tusukan-tusukan kenikmatan yang mereka rasakan bersama.
Setelah agak lama melakukan posisi ini, Ayu menarik pantatnya sehingga
batang kemaluan pria itu terlepas dari lubang kemaluannya. Kemudian ia
membalikkan badannya dan agak membungkuk, menahan tubuhnya dengan
berpegangan pada dinding kamar mandi. Rupanya dia ingin merasakan posisi
“rear entry” atau yang lebih populer dengan istilah “doggy style”.
Kemaluannya yang berwarna merah jambu sudah membuka, menantang, dan
terlihat licin basah. Perlahan Faried memasukkan batang kemaluannya yang
tegang kaku dan keras ke dalam lubang kemaluan Ayu.
“Aaaahh….yahhh!” desis Ayu dengan tubuh mengejang.
Faried
mulai mengayunkan pantatnya maju-mundur, menusuk-nusuk lubang kemaluan
Ayu. Ayu merapatkan kedua kakinya sehingga batang kemaluan pria itu
semakin terjepit di dalam liang kemaluannya. Faried merasakan kenikmatan
yang luar biasa dan sensasi yang sukar dilukiskan dengan kata-kata
setiap kali ia menghujamkan kemaluannya. Tangannya meremas-remas pantat
Ayu bergantian dengan remasan-remasan pada payudaranya. Sesekali, ia
menggigit-gigit kecil di daerah sekitar tengkuk dan pundak wanita itu.
Setelah
cukup lama bergumul dalam posisi doggie, tiba-tiba Ayu meminta berhenti
lalu membalik badannya dari posisi “rear entry” ke posisi berhadapan.
“Nikmati
aku sepuas-puasnya malam ini Bang, mungkin ini pertama dan terakhir
kalinya buat kita!” katanya dengan nafas tersenggal-senggal.
Habis
berkata Ayu langsung mencium Faried dengan ganasnya sambil mencengkeram
erat punggung pria itu, merapatkan tubuhnya dan meraih penisnya yang
masih menegang. Faried mengangkat kaki kiri wanita itu dan mengarahkan
penisnya ke liang kemaluannya. Dengan sekali dorong penis itu pun
kembali memasuki liang kewanitaan Ayu yang sudah sangat berlendir itu.
Setelah penisnya masuk, Faried pun menyentak-nyentaik batang kemaluannya
lagi, semakin keras, semakin cepat dan bertenaga. Keduanya semakin
lepas kontrol, erangan mereka sahut-menyahut berpadu dengan suara shower
akibat dilanda nikmat yang luar biasa.
“Aaaarrgghh….entot
memekku, Bang…, yah…gituuuuuhh…yang keras, yang keras….oohhhh, kontol
Abang enak bangettthhh!” ceracau Ayu tidak karuan
Faried pun jadi
merasa sangat perkasa dan semakin bergairah karena merasa berhasil
membuat wanita itu keenakan. Maka ia semakin kuat menyodoki batang
kemaluannya di dalam vagina Ayu. Seiring dengan semakin kuatnya rintihan
dan erangannya. Ayu merasakan klimaksnya sudah sangat dekat.
“Saya keluaarr Bang..! Aaagghh..!” serunya sambil memeluk Faried erat-erat.
Ayu
merasakan liang kemaluannya berdenyut-denyut seperti menghisap-hisap
kemaluan Faried. Pria itu juga merasakan tubuh Ayu yang menjadi lemas
setelah mengalami wanita orgasme. Namun ia masih saja memompa
kemaluannya sambil menyangga tubuhnya. Mulutnya menghisap-hisap puting
payudaranya, kiri-kanan sambil lidahnya berputar-putar pada ujungnya.
Sesekali jari-jariku meraba dan memutar-mutar klitorisnya. Ayu seperti
orang yang sedang tak sadarkan diri. Dia hanya ber-ah-uh saja sambil
sesekali menciumi bibir tebal Faried. Setelah beberapa saat, mendadak
dia mengejang lagi, melenguh dan mengerang,
“Aaagghh..! Ooohh Bang…saya keluaarr lagii..!”
Ayu
engalami orgasmenya yang kedua kalinya atau istilahnya multiple orgasm.
Ayu menciumi pria itu dengan ganasnya sebagai ekspresi kenikmatan
orgasme yang diraihnya.
“Mbak..tahan yah.. saya juga mau keluar
sedikit lagi..” kata Faried sambil memacu pantatnya lebih cepat lagi
menghujam liang kemaluan Ayu.
Ayu hanya bisa pasrah. Akhirnya,
Faried pun merasakan sebuah gelombang besar yang mencari jalan keluar.
Ia mencoba untuk menahannya selama mungkin, tapi gelombang itu semakin
besar dan semakin kuat, maka ia mengatur pernapasan, berkonsentrasi
penuh. Tangannya yang kokoh mendekap erat tubuh Ayu.
“Aaahhh…saya keluar Mbaaakkk!” erangnya melepas orgasme
Faried
merasakan kenikmatan yang luar biasa menjalari sekujur tubuhnya. Ada
rasa hangat menyelubungi tubuhku. Kemaluannya berdenyut-denyut di dalam
liang kemaluan Ayu. Perasaan yang baru pernah dirasakannya seumur hidup,
bahkan dengan mantan istrinya di kampung yang lugu dan gagap seks. Ayu
menjerit kecil merasakan semburan hangat memenuhi vaginanya memberinya
sensasi nikmat yang luar biasa.
“Fantastis…beneran nih Abang cuma pernah main sama mantan istri Abang dulu?” Ayu setengah tak percaya.
“Iya sumpah Mbak, emang kenapa?” tanya pria itu keheranan.
“Jajan
juga gak pernah?” tanya Ayu lagi sambil meraih penis Faried yang masih
tegang yang baru saja lepas dari himpitan vaginanya
Faried menggeleng, menatap wajah Ayu yang semakin cantik pasca orgasme dan dalam keadaan basah di bawah siraman shower.
“Saya percaya, orang seperti Abang gak ada bakat untuk bohong” Ayu tertawa renyah.
Faried
hanya nyengir kuda lalu mencium lembut kening wanita itu. Ketika
mencuci batang kelelakiannya di bawah shower. Ayu memeluk Faried dari
belakang dan membantu mencuci batang itu. Setelah selesai mandi bareng,
mereka saling mengeringkan diri dengan handuk. Ketika Faried hendak
mengenakan pakaiannya kembali, Ayu melarangnya dan menawarkan untuk
bermalam di situ.
“Abang capek? Malam ini nginep aja di sini…hujannya juga belum berhenti!” tawar Ayu
“Eerrr…Mbak!” Faried menepuk pundak Ayu yang membelakanginya
“Iya…eeemmm!”
Saat
Ayu menoleh, Faried mencuri sebuah ciuman dan dibopongnya Ayu ke arah
tempat tidurnya yang berukuran queen size dengan warna serba pink.
Diletakkannya tubuh telanjang Ayu perlahan di tempat tidurnya. Ia ciumi
sekujur tubuhnya. Setelah puas, ia berbaring di sebelahnya, tangannya
mendekap tubuh wanita itu dan mulutnya menciumi di sekitar daun
telinganya sambil tangannya mengelus-elus punggungnya. Tak lama kemudian
Ayu tertidur dengan senyum di bibirnya. Faried mengecup lembut
bibirnya, lalu ikut tidur di sampingnya, beredekapan, telanjang di bawah
selimut.
Keesokan pagi
Faried terbangun saat ia merasakan
ada jari-jari halus meraba-raba dadanya dan ciuman di keningnya. Ayu
telah lebih dahulu bangun dan dia membangunkan pria itu. Ayu mengecup
bibir tebal itu perlahan dan mereka pun terlibat dalam sebuah “french
kiss”. Tangan Faried mengelusi punggung putih mulus Ayu sementara Ayu
mengelus-elus rambutnya.
“Mbak…bukannya hari ini harus ke bandara? Nanti telat” kata Faried.
“Masih ada waktu…” jawab Ayu “pesawatnya berangkat sore jam lima, kenapa gak kita habiskan bersama saja?”
“Apa
gak akan ada orang lain lagi ke sini? Kalau kita ketauan kan gak enak”
Faried agak was-was kalau ketahuan ia sedang meniduri wanita simpanan
orang kaya, bisa-bisa digebuki seperti di film-film.
“Nggak…dia
terlalu sibuk jam-jam segini, nanti baru nyusul di bandara” Ayu
tersenyum lalu mengecup kembali bibir Faried. “pokoknya Bang…sekarang
ini waktu cuma buat kita berdua, santai dan nikmati aja!”
Ayu
mulai menciumi sekujur tubuh sopir taksi itu, menjilati dadanya dan
menggelitiki putingnya dengan lidahnya. Tangannya menjalari sekujur
tubuhnya dan meraba-raba batang kelelakian Faried, memainkannya,
mengelus dan mengurutnya sehingga penis itu pun bangun dari tidurnya.
Ayu tersenyum. Perlahan, disusurinya perut, pusar dan pinggangku dengan
lidahnya.
“Eeemmhh…Mbak!” desah Faried yang merasakan geli-geli
nikmat yang membuatnya merinding. Ia mengusap-usap kepala Ayu dengan
penuh kelembutan. Disisirnya rambut wanita itu dengan jari-jarinya dan
sesekali diraba-raba tengkuk dan balik telinganya.
Perlahan
jilatan lidah Ayu semakin turun ke arah selangkangan Faried. Dengan
jemari tangan kirinya yang halus, ia menggenggam penis Faried,
mendongakkannya, dan dia mulai menjilati daerah pangkalnya. Disusurinya
penis itu dengan lidahnya hingga ke ujungnya yang bersunat. Ia
memutar-mutar ujung lidahnya ke arah lubang dan sekitarnya pada ujung
batang penis pria itu. Ia memang profesional dalam membuat Faried merasa
seperti melayang.
Dari ujung penis itu, Ayu kembali menyusurinya
hingga ke bawah, menjilat-jilat buah pelirnya, sesekali mengecup dan
agak menghisapnya. Rasa aneh antara sakit, geli, dan enak membuat Faried
menggeliat-geliat.
“Enakkhh…Mbak…geli…uuhh” desah Faried sambil meremasi rambut Ayu.
Ayu memandang pria itu dengan pandangan mata yang menggemaskan
“Sungguh bidadari sejati.. betapa cantiknya kamu Ayu!” kata Faried dalam hatinya
Tiba-tiba
Ayu berhenti melakukan oral seksnya. Dia mendekati wajah Faried.
Menciumnya dengan mesra dan lembut bibir tebal pria itu. Kemudian ia
membalikkan badannya dan membelakangiku, seperti posisi “69″. Ia
memegangi penis Faried dan mulai menghisap, mengulum dan menjilatinya.
Kembali
rasa geli dan nikmat mendera pria itu. Ia mencium wangi harum yang khas
dari gerbang kewanitaan Ayu yang terpampang menantang di depan
wajahnya. Gerbangnya sudah mulai terbuka, berwarna merah muda dengan
dihiasi bulu-bulu halus dan dicukur rapi. Penisnya berdenyut-denyut di
antara hisapan dan geseran lidah wanita itu. Ia memegangi dan mengelus
pantat Ayu dengan kedua tangannya. Ia arahkan gerbang kewanitaannya ke
arah mulutnya. Dijilatinya bibir vagina itu dan daerah sekitarnya. Ayu
mengerang di antara hisapan-hisapannya pada batang kemaluan Faried.
Vagina itu mulai licin dan basah, serta terus menebarkan aroma yang khas
harum karena rajin dirawat.
Faried mendapati sebuah tonjolan
kecil di antara belahan gerbang kewanitaannya, dijilatinya benda itu.
Ayu pun mengerang dan mendesis, sejenak melepaskan batang kelelakian itu
dari mulutnya. Faried menjilat dengan lembut dan sesekali lidahnya
menggeser-geser tonjolan kecil yang ada di belahan gerbang kewanitaan
Ayu. Ayu mendongakkan kepalanya dan mendesis-desis kenikmatan sambil
menggoyang-goyangkan pantatnya.
“Oooh Bang… kok jilatannya enak bangethhh!” kata Ayu di antara erangannya.
Ayu
mengurut dan mengocok penis itu makin cepat sambil mulutnya menghisap
ujungnya. Kedua tangan Faried tidak tinggal diam saat lidahnya
beraktivitas. Terkadang jari-jari tangannya menggaruk mesra punggung Ayu
dengan lembut, atau meraba, mengusap dan memainkan payudaranya yang
menggantung menantang di atas perutnya.
Setelah beberapa lama saling menjilat, menghisap dan menikmati permainan ini, Ayu beranjak dari posisinya.
“Bang…sekarang yah!” katanya sambil memegang penis yang tegang tegak kaku menghadap langit-langit.
Ayu
mengangkangi Faried sambil memunggunginya. Ia mengarahkan batang
kelelakian itu ke gerbang kewanitaannya. Faried menggeser-geserkan ujung
penisnya pada tonjolan kecil di antara belahan gerbang kewanitaannya
untuk membantu penisnya masuk. Ayu memejamkan matanya sambil mendesah
saat penis pria itu memasuki liang kemaluannya yang sudah licin basah.
Pelan.. lembut.. Ayu perlahan menurunkan pantatnya, membuat penis itu
masuk semakin dalam. Terus turun hingga akhirnya mentok dan menyisakan
kira-kira seperempat dari panjang penis pria itu. Ayu agak terpekik saat
ujung penis itu menyentuh dinding rahimnya. Kemudian Ayu mulai
menggoyangkan pantatnya naik-turun-naik-turun. Pada mulanya perlahan
hingga beberapa gerakan, akhirnya Ayu semakin cepat. Mereka menikmati
sensasi yang luar biasa saat kedua alat kelamin keduanya menyatu dan
saling bergesekan. Ayu berulang kali mendesah, melenguh, mendesis,
meracaukan kata-kata yang tak jelas. Faried juga menikmatinya dengan
pikiran yang melayang meresapi rasa geli dan nikmat yang menjalari
sekujur tubuhnya.
Beberapa menit kemudian, Faried mengangkat
badannya sekitar 45 derajat dan bersandar pada kepala tempat tidur Ayu.
Ayu sambil membelakangi bertumpu pada perut pria itu dan terus mengayuh
tubuhnya naik-turun pada selangkangan pria itu divariasikan dengan
memutar-mutar pinggulnya.
“Aaaghh.. Mmmbbakkk..” teriak Faried
sambil memegangi pinggangnya yang ramping dan putih mulus karena
penisnya serasa dipelintir ketika Ayu meliuk-liukkan tubuhnya.
Ia
meraih tubuh Ayu dari belakang. Ia remas-remas lembut kedua payudaranya
yang terasa keras tapi kenyal. Putingnya ia pilin-pilin dengan mesra.
Ayu menghentikan sejenak ayunan pantatnya. Dia mendesah, mendesis.
Faried merasakan batang kemaluannya dan liang kemaluan Ayu sama-sama
berdenyut-denyut. Diciuminya tengkuk wanita itu, sesekali digigit-gigit
ringan tengkuk, bahu kanannya, dan belakang telinganya.
“Putar sini Mbak!” pinta Faried pada Ayu untuk membalikkan posisinya.
Wanita
itu berbalik tanpa melepaskan batang kemaluan Faried dari liang
kemaluannya. Batang kemaluan itu pun serasa ada yang memuntirnya.
Sekarang keduanya berhadapan. Mereka saling memeluk, saling meraba.
Faried mereasakan penisnya masih berdenyut-denyut di dalam liang
kemaluan Ayu yang juga terasa berdenyut-denyut seperti menghisap batang
kemaluan itu. Mereka berpagutan, saling menggigit, menghisap dan
mengulum. Tangan dan jemari Faried dengan lincahnya bergerak di sekujur
badan Ayu, membuat wanita itu kegelian dan merinding. Sekitar setengah
jam dalam posisi demikian, akhirnya Faried merasakan ada sensasi luar
biasa yang membuat tubuhnya serasa mau meledak. Ia mengerang dan
mengatur napasnya. Rasanya ada gelombang besar dari pinggangnya yang
hendak mencari jalan keluar melalui batang kemaluannya.
“Mbak Ayu sayang…saya hampir keluar sedikit lagi..” kata Faried terengah-engah.
“Barengan ya Bang!” jawab Ayu lalu memagut bibir tebal pria itu
Faried
pun balas menciumnya. Mereka sama-sama diam dalam posisi berciuman
sambil terus memacu tubuh. Faried merasakan seperti ada aliran listrik
mulai merayapi sekujur tubuhnya. Sekujur tubuhnya terasa hangat, begitu
juga dengan tubuh Ayu. Sambil terus bermain lidah, mereka menikmati
sensasi yang luar biasa itu.
“Aaaaahhhhh….!!” erang Faried melepas ciuman
“Iyaahhhh….teruusss…..teruussshhh!!”Ayu juga merasakan hal yang sama
Faried
merasa seperti melayang ke langit. Senyap, pandangan matanya
berkunang-kunang walaupun memejamkan matanya. Rasa nikmat yang aneh
disertai oleh rambatan sensasi menjalari setiap bagian tubuh mereka.
Mereka mengejang hingga akhirnya merasakan suatu yang sangat melegakan.
Nikmat…cahaya terang yang membuat berkunang-kunang itu berubah menjadi
kegelapan. Ia rubuh menindih tubuh Ayu, mereka terdiam dengan nafas naik
turun. Ayu menatap wajah ndeso si sopir taksi, dia tersenyum penuh arti
dan kemudian mencium keningnya. Faried balas memagut kecil dagu Ayu.
Tak lama, Ayu mendorong tubuh pria itu hingga berbaring saling
bersebelahan.
“Istirahat dulu yuk, abis ini kita makan!” kata Ayu
lalu mengajak Faried kembali ke balik selimut. Mereka berpelukan sambil
masih dalam kondisi sama-sama telanjang bulat.
Sore harinya
Satu
hal yang mengganjal di hati Faried sejak peristiwa semalam dan tadi
pagi, ia ingin mengungkapkan perasaannya pada Ayu namun belum ada
keberanian untuk itu. Faried memang pria yang tulus, namun
pengetahuannya tentang wanita terbilang minim. Kepada mantan istrinya
dulu saja ia tidak pernah mengatakan ‘saya cinta kamu’ karena memang
mereka dijodohkan. Pasangan yang ketika itu masih sangat hijautidak
pernah merasakan saat-saat romantis hingga akhirnya perceraian mereka.
Sepanjang perjalanan ke bandara ia tidak ada kesempatan untuk itu karena
Ayu sibuk bicara melalui ponselnya, yang pertama dengan seorang teman,
yang kedua dengan si direktur, yang membakar api cemburu dalam hati
Faried. Ketika taksi yang dikemudikannya akhirnya tiba di bandara,
Faried turun duluan dan menurunkan barang bawaan Ayu dari bagasi, saat
itu Ayu masih berbicara di ponselnya. Ini adalah saat terakhir, juga
mumpung antrian kendaraan di gerbang keberangkatan tidak terlalu padat,
maka Faried pun membulatkan tekadnya, ia masuk ke jok kemudi. Ayu baru
saja hendak membuka handle pintu belakang ketika sopir taksi itu
akhirnya berseru.
“Ayu, tunggu!” pertama kali ia memanggil wanita itu dengan namanya.
Ia mengurungkan niatnya dan memandang nya. Matanya bertanya. Dada pria itu berdegup kencang.
“Saya mencintai kamu, Ayu,” Faried mengungkapkan perasaan itu dengan tenggorokan tercekat.
Ayu
menatap tak percaya. Faried segera meraih tangannya, meraba jemarinya
yang halus, mengalirkan keyakinan. Mata mereka saling bertatapan tanpa
berkata-kata, hening selama beberapa saat
“Hentikan semua ini,
Ayu. Kamu seharusnya hidup lebih layak, terhormat dan bernilai. Apa yang
kamu lakukan selama ini hanya akan membuat hidupmu didera kesalahan dan
dosa. Hiduplah dengan saya. Kita kawin. Saya berjanji akan
membahagiakan kamu.”
Ayu menggigit bibir. Ia tampaknya memikirkan
sesuatu. Faried berharap-harap cemas dalam hatinya, ia menggigit bibir
bawahnya dan jantungnya berdebar kencang sekali, inilah pertama kalinya
dalam hidup ia terus terang mengungkapkan cinta pada seorang wanita. Ia
sudah menabah-nabahkan hati untuk siap menerima kemungkinan terburuk.
Matanya memandang Ayu dengan tajam dan penuh harap.
Ayu akhirnya
tersenyum, ia mempererat genggaman tangan si sopir taksi. Tatapan
matanya seperti menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang sangat misterius
sebelum akhirnya berkata,
“Baiklah Bang….” ia berhenti sesaat,
“saya memang harus menentukan pilihan, pada akhirnya. tapi kita hidup
dalam dunia yang berbeda. Bang, Abang tak akan bisa memahami saya,
seperti saya pun tak bisa memahami Abang. Terima kasih atas ketulusan
tawaran Abang. Saya menghargainya. Biarkan saya memilih dan melewati
jalan yang menurut saya terbaik. Abang orang baik, terus terang, saya
suka Abang, seandainya takdir mempertemukan kita lebih awal atau di
tempat yang lain dari sekarang, kita mungkin bisa bersatu. Saya doakan
Abang kelak mendapat jodoh yang baik…jauh lebih baik dan suci, tidak
seperti wanita di depanmu ini. Maafkan saya…selamat tinggal!” Ayu
mengucapkannya dengan bibir bergetar, pelupuk matanya basah, namun ia
menyekanya cepat-cepat, lalu membuka handle pintu tergesa-gesa dan
pergi. Faried tak bisa mencegahnya lagi. Ia hanya sempat memandangi
punggungnya serta gaunnya yang berkibar ditiup angin berjalan memasuki
bandara ke gerbang keberangkatan, untuk terakhir kali tanpa menoleh ke
belakang, dengan pandangan kosong. Terasa ada yang hilang dalam dirinya,
bak istana pasir yang diterpa ombak dan lenyap seketika, sesuatu yang
tak dapat ia ungkapkan bagaimana adanya. Dua puluh menit Faried
termenung di taksinya di luar bandara, matanya kosong menatap langit
biru. Sebagian dirinya serasa hilang bersama wanita itu. Tiga batang
rokok telah dihabiskannya sejak Ayu meninggalkannya tadi.
“Faried…ayo
kamu bisa! Dunia belumlah kiamat, kehidupan terus berjalan! Bangkit!!
Bangkit!! Jangan harap Bapak akan menemui kamu di akhirat nanti kalau
kamu sampai bunuh diri gara-gara patah hati!
Bangkit…bangkit…bangg…bangg” Faried sekonyong-konyong mendapat seruan
itu dalam lamunannya, almarhum ayahnya seperti sedang menyemangatinya
“Bang….bang…narik
ga nih?” tiba-tiba saja sebuah suara dari sebelah menyadarkannya,
rupanya ia setengah tertidur di tengah lamunannya.
“Ooohh….iya…iya
Pak, narik lah…ayo silakan masuk!” ia membukakan pintu belakang untuk
pria berumur empat puluhan itu, “kemana nih Pak?”
“Sudirman, cuma
lagi ada demo deket situ…bisa ga Bang? Saya buru-buru nih, daritadi
udah dua sopir nolak!” jawab pria yang menenteng tas laptop itu.
“Beres Pak…saya coba lewat jalan tikus, moga-moga keburu!” sahut Faried lalu segera tancap gas dari situ,
“Ayo
Faried, kamu bisa, semangat!!” ia kembali menyemangati dirinya, ia
harus tegar seperti apa yang selalu ayahnya ajarkan sejak kecil.
Delapan tahun kemudian
Foodcourt sebuah mall
“Oke..oke…,
kamu urus saja, yang ginian gak usah pakai lapor, belajar lah
memutuskan sendiri!” Faried berbicara lewat ponsel dengan seseorang,
“pokoknya pastikan jangan sampai terlambat, ketepatan waktu yang bikin
perusahaan kita dipercaya orang, ngerti?!”
“Baik Pak…saya usahakan sebaik mungkin, Bapak tenang aja, nanti saya kabari lagi” jawab suara di seberang sana.
“Gitu
dong….oke ditunggu kabar baiknya, sampai nanti ya!” ia menuntup
pembicaraan lalu melanjutkan makannya yang tinggal sedikit lagi.
Faried
yang sekarang sudah berbeda dari Faried yang dulu, rambutnya kini telah
dicukur cepak dan rapi, sebagian kecil nampak telah beruban, di atas
bibirnya yang tebal itu telah tumbuh kumis tipis. Soal level kegantengan
yang di bawah rata-rata sih memang tidak terlalu mengalami kemajuan,
tapi kini ia terlihat lebih dewasa. Pakaian yang melekat di tubuhnya
bukan lagi seragam sopir taksi seperti dulu, melainkan sebuah kaos
berkerah merek ternama dan ponsel yang dipakainya bukan lagi barang
seken atau murahan lagi, melainkan keluaran terbaru yang masih mulus.
Hasil kerja keras, pengalaman dan tabungannya selama ini telah mengubah
nasibnya, kini ia telah memiliki sebuah perusahaan travel yang sangat
berkembang, bahkan telah membuka cabang di kota lain. Ia baru saja
menyeruput minumannya ketika sesuatu tiba-tiba membentur sepatunya. Ia
melongok ke bawah meja dan menemukan sebuah mobil-mobilan. Seorang bocah
laki-laki mengejar dari belakang dan hendak mengambil mobil itu.
“Michael…Mom said don’t play it here…now you see!” sahut seorang wanita
Faried memungut mainan itu dan memberikannya kembali pada si bocah berparas blasteran bule itu.
“Thank you sir!” kata si anak.
“Maaf ya Pak…come say sorry to uncle!” kata wanita itu, “Hah….kamu!”
Faried
juga tertegun begitu melihat ibu dari anak itu, mereka saling tatap
selama beberapa saat seperti tidak percaya pengelihatan masing-masing.
“Faried? Bang Faried?” wanita itu membuka suara duluan.
“Iya…Ayu kan?” yang dijawab wanita itu dengan anggukan kepala.
Tidak
banyak yang berubah pada wanita itu, ia tetap cantik dan tubuhnya masih
langsing walau telah memiliki anak. Rambutnya kini agak bergelombang
dan disepuh kecoklatan. Pakaian yang dikenakannya serta wajahnya dengan
make up tipis membuat penampilannya jadi keibuan.
“Eeemmm…sudah
lama ga jumpa ya…gimana kabarnya sekarang?” sapa Faried yang merasa
senang kembali bertemu dengan wanita itu, ia sangat penasaran dengan
kabarnya selama tujuh tahun ini yang tidak pernah kedengaran lagi, “ayo
duduk dulu!”
Ayu duduk di depan Faried dan keduanya saling berpandangan dengan gembira.
“Kelihatannya
banyak yang sudah berubah” kata Ayu melihat penampilan pria yang dulu
menjadi sopir langganannya itu yang juga pernah menghabiskan semalam
penuh gairah bersamanya.
“Ya…banyak, sangat banyak, kehidupan ini memang dramatis” jawab Faried “kamu di mana saja selama ini? Pulang kampung?”
“Bukan…jauh…jauh sekali, benar kata Abang kehidupan itu dramatis, selain itu juga penuh misteri”
Ayu
kini telah menikah dengan seorang bule Inggris. Setahun setelah
perpisahan mereka di bandara, ia berhenti menjadi wanita simpanan si
direktur yang mulai berpindah ke lain hati. Di tengah kesepiannya, ia
berkenalan dengan ekspatriat asal Inggris, hubungan mereka makin serius.
Pria itu ternyata tulus mencintai Ayu tanpa memandang masa lalunya yang
kelam, ia sendiri seorang duda tanpa anak. Hubungan mereka pun
berlanjut ke pernikahan dan pria itu memboyong Ayu ke negaranya.
Demikian pula Faried yang kini telah sukses, ia sudah menikah empat
tahun yang lalu dan memiliki seorang putri berusia tiga tahun. Mereka
berbagi cerita sambil tertawa-tawa, sesekali Ayu memperingatkan anaknya
yang asyik dengan mainannya agar tidak jauh-jauh darinya.
“Akhirnya, hari ini saya benar-benar lega” kata Faried,
“rasa penasaran selama ini selesai sudah dan kamu menemukan kebahagiaan kamu, seperti yang dulu kita obrolin di taksi, ingat?”
“Ya…doa
saya agar Abang mendapat jodoh yang baik pun sudah terjawab. Tuhan
memang kadang terlalu baik pada umatnya Bang, saya tidak pernah bermimpi
wanita seperti saya akhirnya bisa menjadi ibu dan istri seperti
sekarang ini, bagi wanita seperti saya, ini lebih dari yang saya
harapkan” mata Ayu nampak berkaca-kaca, nampaknya ia antara sedih dan
gembira membandingkan dirinya dulu dan sekarang.
“Satu misteri
kehidupan yang saya akhirnya singkap hari ini, kadang memang ada dua
orang saling mencintai tapi tidak ditakdirkan untuk bersatu, seperti ada
jurang yang dalam yang memisahkan mereka, namun pada akhirnya mereka
akan menemukan kebahagiaannya di jalannya masing-masing dan bersama
pasangannya yang lain yang berada di satu tebing dengan mereka” Faried
berfilsafat.
“…..dan kebahagiaan mereka pun bertambah ketika
melihat cinta lamanya di seberang jurang itu akhirnya berbahagia walau
bersama orang lain” Ayu menyambung lalu mereka hening, saling tatap
selama kira-kira sepuluh detik sementara Michael asyik membuka tutup
pintu mobil-mobilannya.
“Ahahha…abang ambil kuliah filsafat ya
setelah saya pergi?” Ayu tiba-tiba tertawa renyah sambil menangkap
mobil-mobilan yang diluncurkan anaknya padanya di meja.
“Hehe…sopir
taksi kaya saya umur waktu itu udah kepala tiga mana sempat kuliah
lagi, filsafat itu kadang keluar dari pengalaman hidup kita kok Lin, kan
para filsuf sama nabi juga mendapatkannya dari pengalaman hidup dan
lingkungan mereka dulu, cuma mereka lebih pandai merenungkan dan
mengutarakan pada orang banyak”
“Tuh…kan berfilsafat lagi…hihihi….!” mereka saling tertawa lepas, lega setelah beban di hati masing-masing akhirnya terangkat.
Tiba-tiba BB Ayu berbunyi dan ia permisi untuk mengangkatnya.
“Ok baby…we’ll meet you soon!” kata Ayu lalu menuntup pembicaraan
“Papanya…udah
nunggu di depan ngejemput!” kata Ayu, “Oke Bang…kita sudah harus
berpisah lagi, tapi kali ini perpisahan yang melegakan, ya kan?” wanita
itu lalu bangkit dan berpamitan pada Faried, “Michael, say goodbye to
uncle!” katanya pada buah hatinya.
“Eeeii…Ma…udah selesai
salonnya?” Faried tiba-tiba melambai ke arah belakang Ayu pada seorang
wanita lain yang menghampiri mereka, “ini istri saya, Anita!” ia
memperkenalkan wanita itu pada Ayu, “Ini Ayu…langganan taksi dulu waktu
narik hehehe….”
“Ya udahlah, rapiin rambut aja ngapain pake lama?” jawab wanita itu lalu beralih menyapa Ayu dan anaknya, “Hai….”
Anita
dengan senyum ramah menjabat tangan Ayu dan juga membelai anak itu,
gemas akan wajah indo-nya yang imut-imut. Secara fisik memang Anita
kalah dibanding Ayu, kulitnya tidak terlalu putih dan agak gemuk,
apalagi kini sedang hamil empat bulan. Namun, wanita inilah yang banyak
membantu Faried mencapai sukses, ia adalah pedagang kecil di pasar yang
adalah tetangga di dekat kontrakan Faried. Seorang wanita yang rajin dan
ulet, sudah terbiasa kerja keras membantu perekonomian keluarga dengan
berjualan kue di rumahnya dan secara online, belakangan ia mulai membuat
kuenya sendiri. Anita dan keluarganya juga cocok dengan Faried yang
jujur dan pekerja keras, hubungan mereka semakin dalam terutama setelah
Faried berpisah dari Ayu dulu hingga akhirnya mereka menikah dan
mempunyai anak. Dari seluruh keuntungan usaha jualan kue keringnya lah
Anita membantu Faried mendirikan usahanya sendiri hingga akhirnya sukses
setelah melalui jalan yang cukup terjal dan berliku. Mereka pun
akhirnya berpisah setelah ngobrol basa-basi sebentar.
“Ayo Pa,
kalau telat, nanti kasian Lina nunggu sendirian di sekolah, udah mau
jamnya nih!” kata Anita mengajak suaminya untuk segera meninggalkan mall
itu.
“Oke Ma, yukk!!” Faried menggandeng tangan istrinya dan mempercepat langkah.
“Omong-omong
Papa punya langganan cantik juga ya…pantes Papa betah lama-lama jadi
sopir taksi dulu hehehe” canda Anita sambil tetap berjalan.
Faried
hanya tertawa nyengir, hatinya tenang kini, ia dan Ayu telah menemukan
kebahagiaannya masing-masing
Download bokep di bawah :